Powered By Blogger

SERBA-SERBI INFO

Kamis, 31 Maret 2011


MAKALAH ILMU BUDAYA DAERAH BERJUDUL
PROBLEM KEBUDAYAAN DI
INDONESIA


Tugas akhir mata kuliah Ilmu Budaya Daerah ini
Dilengkapi sebagai pengganti mitem

Di
Susun
  Oleh :

NAMA            : HERMAWANSYAH PUTRA
NIM                :10907123




BIDANG KHUSUS TECHNIC ELECTRONIC
AKADEMI KOMPUTER INDONESIA
BANDA ACEH
2011
ABSTRAK
PROBLEM KEBUDAYAAN DI
INDONESIA

Oleh :

NAMA            : HERMAWANSYAH PUTRA
NIM                : 10907123
Dengan majunya teknologi di mana informasi apa saja bisa masuk dalam kehidupan masyarakat kita turut pula mempengaruhi tergesernya nilai nilai budaya Indonesia ini. Terutama para generasi muda bangsa ini. Banyak kita lihat disekeliling kita betapa muda mudi Indonesia kebanyakan lebih suka terhadap budaya asing ketimbang kebudayaan Indonesia sendiri. Di khawatirkan kebudayaan Indonesia hanya sebagai pelengkap di acara acara tertentu saja seperti ketika memperingati kemerdekaan Indonesia. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan indonesia terbentuk juga karena di pengaruhi budaya asing, tapi itu dulu saat saat jaman kerajaan. Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tiong hoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Budha di negara Indonesia jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kuai , sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara( Sriwijaya) . Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok. Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk Kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.





















I

KATA PENGANTAR


Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat illahi Robbi yang telah memberikan rahmat dan hidayatnya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir semester, ilmu budaya daerah. Tugas akhir ini dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam akhir mata kuliah Ilmu Budaya Daerah di Akademi Komputer Indonesia
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam menyelesaikan pembuatan tugas
akhir ini, banyak mendapatkan kendala dan kesulitan namun berkat bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat me-nyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Sehubungan dengan hal itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak/ibu sebagai dosen sekaligus pembimbing dalam kami menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Tema-teman senasib dan seperjuangan di A.K.I  yang telah banyak membantu serta memberi masukan sehingga kami bisa dengan mudah dan lancar menyelesaikan tugas akhir ini.
Kami hanya bisa berdoa kepada alloh SWT, semoga amal dan budi baik dari Bapak
dan Ibu sekalian mendapat pahala dan ridlo dari Alloh SWT amin ya robb.




Hormat Saya



( HERMAWANSYAH PUTRA )
  NIM : 10907123




ii
ANALISA PROBLEM KEBUDAYAAN DI
INDONESIA

Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional” Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan.
iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar belakang
Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang senyatanya tidak dapat dielakkan lagi. Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan.
Manifestasi tantangan-tantangan tersebut antara lain berupa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misal¬nya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process.
Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bahwa, dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).
1.2.    Tujuan
Sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab, hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (Al Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada perbaikan hidup dan kemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak. Hal ini berpegang pada prinsip “al muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah”, yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik (Ibid, 2007b).

1.3.    Ruang lingkup masalah
Problem kebudayaan di indonesia. Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan semacamnya.
Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri).

1.4.    Hipotesa
“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005). Disebutkan olehnya bahwa kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia, yang membedakan manusia dengan binatang. Mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan simboli¬sasi terhadap sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi dengan sesa¬manya (Ahimsa-Putra, 2004: 29). Sementara itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana makna dari suatu simbol itu mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya (Ibid).
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pe¬maknaan terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini meru¬pakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai: seperangkat atau kese¬luruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehi¬dupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap manusia beserta komu¬nitasnya memiliki perangkat simbol (baca: kebuda¬yaan) dan pro¬ses simbolisasinya (proses berkembangnya kebuda¬yaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89). Hal inilah yang kemudian melahirkan diversitas budaya dalam kehidupan manusia.
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat. Pertama adalah gagasan, ide, atau sistem nilai. Karena gagasan ini beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit mengidentifikasinya. Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya material. Budaya material (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empirik).
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture. Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket, keris, sampai Candi Borobudur, misalnya). Kemudian, wujud kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat-istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti pola makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali.
Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu.
Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan. Barangkali, muncul pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini.
Ahimsa-Putra (2004: 38) menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal-usulnya. Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:
1.             Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;
2.             Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas individu; dan
3.             Lingkungan budaya. Lingkungan ini mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan, norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1) lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya oleh karena lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakat agraris, seperti masyarakat petani salak di Yogya¬karta atau masyarakat petani kopi di kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terha¬dap hidupnya.
Pola pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi cara mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan lingkungannya, dengan hidupnya. Inilah yang dinamakan kearifan lokal, sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat penghayatan manusia atas lingkungannya.
Penghayatan terhadap lingkungan inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas pula, yakni sistem nilai, adat-istiadat, dan artefak-artefak budaya (periksa Ahimsa-Putra, 2008: 11-12).
Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.
1.5.    Sumber data
Data yang telah kami susun ini, di kutip dari berbagai sumber, sepert halnya buku, koran, dan internet atau google. Dan intinya darimanapun kami ambil data ini pasti akan kami cantum kan sumbernya di bawah atau di awal permulaan data tersebut dengan jelas.

1.6.    Pengumpulan data
Sesuai dengan data yang telah disusun ini, di ambil dari berbagai sumber dan proses pengumpulan datanya secara beransur-ansur, dibawah ini akan cantumkan sebahagian sumber datanya. Adapun sumber data yang kami ambil adalah sebagai berikut:











BAB II
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN
INDONESIA


2.1.    Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan
Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.


2.2.    Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.
Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

2.3.    Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Dewasa Ini
Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

2.3.1. Penerapan teknologi maju.
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sektor kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.

2.3.2.   Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar- besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.
Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan.
Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak. Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut
dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.
BAB III
PENUTUP

1.1         Penutup
Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas akhir mata kuliah Ilmu Budaya Daerah dengan  judul Problem Kebudayaan di Indonesia. Dan Alhamdulillah penulis bisa menyelsaikan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.
Walaupun sering menghadapi kendala dan cobaan yang datang menghadang dari berbagai pihak,  tapi berkat do’a, bimbingan dan dorongan dari bapak pembimbing, dan ke dua orang tua penulis, akhirnya tugas akhir ini bisa penulis selesaikan.

1.2         Kesimpulan
Setelah penulis membaca dan meneliti tugas akhir yang berjudul  Problem Kebudayaan di Indonesia ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut :
1.             Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka.
2.             Penerapan tekhnologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik.
3.             Dapat diketahui bahwa ada 2 kekuatan yang memicu pada perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka.
4.             Sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat.

1.3  Saran-saran
Kepada seluruh pembaca, baik kawan-kawan seperjuangan ataupun dekan Akademi Komputer Indonesia, penulis sangat mengharapkan penelitian ulang terhadap makalah ini, karena penulis yakin dan sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terletak kesalahan disana-sini baik mengenai cara penulisan maupun mengenai cara penempatan kata-katanya, yang mungkin penulis tidak mengetahui dimana letak kesalahannya.
Dan saran kepada semua pembaca yang sudah mengetahui tentang budaya, janganlah kita tinggalkan budaya kita, terlebih lagi budaya orang aceh sudah dikenal dimana-mana, yaitu budaya tarian saman yang berasal dari kabupaten gayolues, sebab kemajuan suatu negeri juga dipengaruhi oleh budaya, kalau budayanya hancur berantakan maka bisa dikatakan negaranya juga akan hancur secara perlahan-lahan.
Oleh karena itu penulis sangat mengaharapkan kritikan dan saran dari  semua pembaca tugas akhir ini, demi kesempurnaan tugas akhir ini dimasa yang akan datang. Amin ya robbal Alamin.












DAFTAR GAMBAR

1.       
Ini merupakan tarian tradisional indonesia, bagian dari budaya daerah yang menyusun kebudayaan daerah.
2.       
















Daftar Pustaka

1.      Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. Warisan Budaya. Dalam “Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya”, Arwan Tuti Artha. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
2.      Al Mudra, Mahyudin. 2007a. MelayuOnline.com Sebagai Sara¬na Merekonstruksi Peradaban Melayu di era Gelom¬bang Ketiga. http://melayuonline.com/article.
3.      Friedman, Jonathan. 1994. Cultural Identity and Global Process. London: Sage Publications.
  1. Website : www.suara pembaruan.com/16 juli 2004; www.undp.org/hdr2004 ; www.worldbank.com; www.republikaonline.com; www.indonesia.go.id (Senin 12/2/07); http://www.perbendaharaan.go.id/20-02-2007; www.Pikiran Rakyat.com (03/2004); www. Klik-galamedia.com, (08 Februari 2007); (www.tempointeraktif.com); www.bapeda-jabar.go.id/2006. www.tempointeraktif.com (8/3/2007)
5.      •    Suparlan, Parsudi, 2001a, “Bhinneka Tunggal Ika:  Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?  makalah disampaikan dalam Seminar “Menuju Indonesia Baru”.  Perhimpunan Indonesia Baru – Asosiasi  Antropologi Indonesia.  Yogyakarta, 16 Agustus 2001.